Bengkulu Kawalnews.com – Pengacara dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Magdir Ismail menegaskan dalam praktik hukum saat ini, ada disparitas tuntutan dan hukuman dalam kasus korupsi.

Maqdir mencontohkan, perkara yang sama jenis perbuatannya tapi berbeda pasalnya, seperti perkara Gubernur Jambi Zumi Zola dan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti. Menurut Maqdir Ismail, mereka sama-sama diduga menerima uang dari pihak ketiga dengan jumlah yang sangat berbeda, tapi pasal yang disangkakan berbeda.

“Zumi Zola dituduh menerima uang sebesar Rp 40,477 miliar, US$ 173 ribu, dan Sin$ 100 ribu, serta sebuah mobil Alphard. Dia dibidik dengan Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu menerima gratifikasi, dan Pasal 5 ayat 1 UU Tipikor, yakni sebagai pemberi suap. Dia diancam hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Pengadilan memvonisnya dengan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta,” ujar Maqdir Ismail (16/1/2019).

Berbeda dengan Zumi Zola, lanjut Maqdir, Ridwan Mukti dituduh menerima Rp 1 miliar. Ridwan Mukti, lanjut Maqdir, dikenai Pasal 12 huruf a atau huruf b UU Tipikor atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman kedua pasal terakhir ini menurut Maqdir sama, yaitu maksimal 20 tahun. Pengadilan kemudian menjatuhkan vonis 8 tahun penjara dan denda Rp 400 juta.

“Zumi lebih beruntung. Meski dia didakwa melakukan dua perbuatan pidana, karena perbuatan itu sejenis, maka berdasarkan Pasal 65 KUHP dia hanya akan dikenai satu perbuatan pidana. Mengapa Zumi dituntut dan dihukum dengan hukuman yang lebih ringan padahal uang yang diterimanya empat puluh kali lebih besar dibandingkan dengan yang didapat Ridwan Mukti? Tentu akan ada yang menjawab bahwa ini adalah keyakinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan hakim,” tambah Maqdir.

Dalam kasus ini, tambah Maqdir lagi, pengakuan bersalah dianggap lebih penting daripada proses hukum yang benar sesuai dengan bukti persidangan. Menurut Maqdir, proses hukum yang terjadi sekarang membenarkan dugaan bahwa peradilan pidana bergantung pada pengakuan, bukan sistem peradilan, dan keyakinan hakim berasal dari pengakuan bersalah.

“Ini bermakna bahwa pada hakikatnya proses peradilan itu bukan untuk menegakkan hukum dan mencari keadilan, tapi proses pengakuan dosa dan pengakuan bersalah, yang kemudian dengan pengakuan itulah putusan dijatuhkan,” tegas Maqdir.

Untuk diketahui, dalam perkara Zumi Zola, ada pengakuan dari tersangka dan terdakwa. Sedangkan dalam perkara Ridwan Mukti, istrinya mengaku meminta dan menerima uang tapi tidak mengakui keterlibatan suaminya. Namun KPK dan hakim menganggap bahwa Ridwan Mukti terbukti meminta uang dan mengetahui istrinya menerima uang.

Menanggapi penyataan Maqdir ismail, salah satu tim kuasa hukum Ridwan Mukti, Abdusy Syakir juga meyakini ada yang janggal dalam putusan bersalah Ridwan Mukti. Menurut Syakir, tidak benar Ridwan Mukti tidak mendukung pemberantasan korupsi; Hal ini dapat dibuktikan, dalam beberapa perkara korupsi baik yang OTT atau tidak, contohnya Malang, Jambi dan lain-lain.

“Saat Ridwan Mukti jadi gubernur, politik uang untuk loloskan anggaran dengan DPRD, atau dikenal dengan uang ketok palu. Itu tidak ditemukan dalam kasus Ridwan Mukti, karena Ridwan Mukti tegas menolak. Sehingga dengan demikian tidak menyeret DPRD Provinsi Bengkulu, seperti misalnya kasus Jambi dan Sumut. Tentu dengan resiko pembahasan dengan DPRD menjadi alot dan molor, atau telat,” ujar Syakir.

Saskir menambahkan, setoran dinas-dinas atas kutipan proyek instansi lingkungan Pemprov Bengkulu, itu tidak ditemukan KPK dalam kasus Ridwan Mukti. Padahal menurut Syakir, semua pejabat Pemprov Bengkulu yang terkait kasus ini sudah diperiksa oleh KPK.

“Sogok menyogok untuk menduduki jabatan di Pemprov Bengkulu. Itu juga clear, karena Ridwan Mukti terapkan sistem lelang jabatan secara terbuka. Sehingga KPK tidak menemukan pejabat yang diminta setoran selama kepemimpinan Ridwan Mukti,” tambah Syakir lagi.

Pengembangan perkara yang dilakukan oleh KPK pada perkara Ridwan Mukti, tambah Syakir, semestinya dilakukan. Namun Menurut Syakir tidak dilakukan, dimana ada beberapa fakta hukum yang terungkap di persidangan berkenaan keterlibatan pihak lain, sebagaimana yang dilakukan dalam perkara Parlin Purba (Kasi Intel III Kejati) dilakukan pengembangn dengan menetapkan kembali 3 orang sebagai tersangka, “kenapa ini tidak dilakukan?” Tegas Syakir mempertanyakan komitmen KPK.

“Komparasi antara kasus Zumi Zola, Parlin Purba dan Ridwan Mukti terkesan ada tebang pilih atau diskriminasi, padahal dalam hukum dikenal equality before the law, dimana setiap orang sama kedudukan nya dihadapan hukum, tanpa mengenal status atau kasta,” Pungkas Syakir. ***

You may also like

1 comment

Anonim Januari 20, 2019 - 11:40 am

2.5

Reply

Leave a Comment