Kawalnews.com – Pemeritah dinilai masih perlu memproteksi harga minyak goreng untuk industri kecil dan masyarakat kurang mampu dengan menugaskan BUMN, menyusul lonjakan harga akibat kenaikan permintaan CPO di pasar internasional.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan konflik geopolitik di Rusia dan Ukraina diperkirakan masih akan berlangsung lama, sehingga produksi minyak nabati selain CPO diperkirakan masih akan terbatas.
“Kondisi ini yang menyebabkan harga sulit turun, meskipun sekarang, produksi sedang berlimpah. Solusi yang ditawarkan adalah dengan melibatkan BUMN untuk memproteksi harga migor curah untuk rumah tangga kurang mampu,” terang Bhima, di Jakarta, Sabtu (24/6/2022).
Bhima mengatakan proteksi harga perlu dilakukan karena pengawasan distribusi memang lebih sulit dilakukan untuk minyak goreng curah karena rantai perdagangannya lebih panjang, yaitu lima sampai tujuh rantai perdagangan hingga ke konsumen akhir.
Dari setiap titik distribusi, paparnya, sekitar 95 persen minyak goreng (migor) dikendalikan swasta dan hanya 5 persen BUMN atau Pemerintah. Di setiap titik distribusi ada margin distributor yang sebenarnya dapat efektif dipangkas dengan menugaskan BUMN.
“Untuk curah memang masih perlu diproteksi Pemerintah karena dibutuhkan pedagang, pelaku UMKM dan rumah tangga miskin. BUMN bisa terlibat lebih besar. PTPN untuk produksi dan Bulog untuk distribusi. Ini bisa efektif melindungi harga migor curah,” jelasnya.
Dia mengatakan setidaknya ada dua BUMN yang dapat ditugaskan Pemerintah untuk mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri. Pertama, PTPN Group yang memiliki lahan dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Kedua, Perum Bulog.
“Sebenarnya PTPN ini fungsinya bisa membantu dalam peningkatan produksi kelapa sawit. PTPN ini ada lahan kelapa sawit. Jadi beberapa HGU milik swasta yang belum dikerjakan atau memang sudah habis masa konsesinya, bisa dialihkan kepada PTPN,” terangnya.
Kemudian, PTPN bisa diberikan investasi untuk pengembangan lahan kebun kelapa sawit dan pembangunan pabrik pengolahan diberapa sentra perkebunan dan bekerja sama dengan petani swadaya yang belum menjadi inti plasma perusahaan manapun,” terangnya.
Jika ini bisa dilakukan, terangnya, kemungkinan porsi dari BUMN dan petani untuk mengolah sendiri TBS-nya menjadi minyak goreng, khususnya minyak goreng kemasan, bisa membantu distribusi di sekitar wilayah penghasil sawit, terutama di luar Pulau jawa.
“Kalau untuk distribusi, Bulog cocok. Bulog membeli dari PTPN dan perusahaan swasta, selama perusahaan itu memiliki minyak goreng kualitas curah, tidak harus yang dari DMO. Minyak goreng curah dan kemasan sederhana bisa ditampung oleh Bulog,” paparnya.
Di sisi lain, untuk migor kualitas premium, terangnya Pemerintah sudah memutuskan diserahkan kepada mekanisme pasar karena HET hanya berlaku untuk minyak goreng kualitas curah yang saat ini dinamai dengan minyak goreng untuk rakyat.
Selama ini, terangnya, Bulog belum dilibatkan secara optimal. Hal ini kemungkinan karena keterbatasan anggaran. Jika melibatkan kedua BUMN ini, maka memanga perlu ditambah kapasitasnya, misalnya melalui penyertaan modal negara atau didorong untuk rights issue.
“Dengan tambahan modal PTPN bisa ekspansi pengembangan lahan dan pembangunan pabrik yang lebih besar skalanya. Atau mengambil porsi yang selama ini dinikmati oleh swasta,” paparnya.
Sementara itu, jelasnya, untuk Bulog mungkin perlu anggaran lebih untuk meningkatkan infrastruktur Gudang karena selama ini Bulog hanya fokus pada tiga komoditas, yaitu jagung, kedelai dan beras.
“Jadi kalau diminta masuk ke intervensi minyak goreng curah, maka perlu anggaran yang lebih besar,” tutupnya.