Bengkulu Darurat Kekerasan Seksual

by redaksi redaksi
0 comment

Oleh: Fatrica Syafri, M. Pd. I dan Jeni Melisa, MH (PW Fatayat NU Bengkulu)

Beberapa hari yang lalu Provinsi Bengkulu Kembali di gemparkan dengan berita Kekerasan Seksual yang menimpa Bocah Tunga Rungu warga kelurahan Tengah Padang Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu diduga diperkosa oleh 10 orang pria. Sungguh tragedi diluar nalar.

Pada tahun 2016 lalu Provinsi Bengkulu juga mengalami kasus pemerkosaan dan pembunuhan anak usia 14 tahun yang menghebohkan sampai pada kancah nasional. Bahkan sepanjang tahun 2020 diketahui Provinsi Bengkulu menempati urutan ke-4 angka kekerasan seksual tertinggi di Pulau Sumatera.

Hal ini sangat mermprihatinkan dengan tingginya angka kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak di Provinsi Bengkulu.

Salah satu faktor penyebab masih banyak kekerasan tersebut, didominasi oleh sikap “lengah” terhadap orang yang dikenal (baca: sekitar). Sehingga, para pelaku kekerasan ini menganggap korban itu miliknya. Baik itu suami, ayah, paman, bahkan guru, lemahnya pengawasan orang tua, pola asuh, dan kemajuan teknologi informasi internet juga menjadi sejumlah faktor yang memicu peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan tersebut.

Saat melapor pun keluarga dan korban sering kali mengalami diskriminasi masyarakat atas pengungkapan kejahatan seksual yang dialaminya, Ekspos publik, juga seringkali lebih fokus pada deskripsi kejahatan nya dan korban, bukan pada tanggung jawab pelaku dan aparat dalam menjamin keadilan dan pemulihan korban. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor mengapa kasus kekerasan seksual hanya terselsaikan dengan tindakan “damai” bagi pelaku dan korban. Bahkan, menjadi kasus yang “didiamkan saja” karena ingin menutup aib kedua belah pihak.

Tindakan Kekerasan itu sendiri sebenarnya telah diatur dalam UU NO 12 Tahun2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Lahirnya UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), merupakan suatu bentuk komitmen negara dalam memberikan jaminan hak asasi manusia secara menyeluruh, khususnya dari kekerasan dan diskriminasi.

UU TPKS mengatur sembilan tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya bukan tindak pidana atau baru diatur secara parsial, yaitu tindak pidana pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Selain pengaturan sembilan tindak pidana tersebut, UU TPKS mengakui tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang lainnya, yang karenanya maka kedepannya hukum acara dan pemenuhan hak korban mengacu pada UU TPKS.

Kini, kita semua perlu mengawal pelaksanaan UU TPKS sehingga dapat mencapai tujuan pembentukannya, dan juga memastikan perubahan hukum dan kebijakan lain yang relevan dapat segera mengikuti, termasuk RKUHP. Atas kondisi tersebut PW Fatayat NU Bengkulu mengajak seluruh Elemen masyarakat, baik dari pemerintahan, penegak hukum, organisasi masyarakat baik perempuan atau laki-laki untuk bersama melakukan pencegahan dan penanganan Tindak Kekerasan Seksual di Provinsi Bengkulu.

Semua ini akan terwujud jika semua elemen bekerja sama dan kompak dalam menangani kekerasan seksual di Provinsi Bengkulu.

You may also like

Leave a Comment