Oleh: Muhammad Aras Prabowo
Ketua Program Studi Akuntansi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)
Direktur Lembaga Profesi Ekonomi dan Keuangan PB PMII
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Akuntansi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta)
Jakarata – Profesi akuntansi hingga saat ini masih memiliki tantangan etis yang perlu dipikirkan bersama. Mengingat skandal seperti Phar-Mor Amerika Serikat 1992 (Collins & Schultz, 1995; Cottrell & Glover, 1997; Ferrentino et al., 2016; Glover & Aono, 1995), Enron Amerika Serikat 2001 (Carson, 2003; Singleton, 2002; Vinten, 2002), dan McKinsey & Company Swissair Switzerland 2001(Beatty et al., 2003; Watkins, 2003; Whittington et al., 2003). Konteks Indonesia ada PT Garuda Indonesia (GIAA) Persero Tbk Indonesia (Achmad et al., 2022; Aviantara, 2021; Prayoga & Purwanti, 2020) dan PT. Asuransi Jiwasraya Indonesia (Budiansyah, 2021; Desturi, SH, 2021; Gitta Sari, 2020).
Hal mendasar dalam praktik profesional akuntan adalah terabaikannya etika profesi, etika tidak dijadikan acuan utama dalam praktik profesional (Ludigdo, 2007). Menurut Ludigdo kode atik akuntan di Indonesia adalah hasil adopsi secara keseluruhan dari International Code of Ethics for Professional Accountants tanpa mempertimbangkan heterogenitas budaya yang dimiliki Indonesia. Mengabaikan budaya dalam menyusun etika akuntan menjadi salah satu pemicu dalam ketidak patuhan akuntan Indonesia.
Studi dan penguatan etika akuntan juga dilakukan melalui pendekatan Islam (Alimuddin & Ruslan, 2016; Edi, 2015; Husein, 2018). Penelitian kode etik akuntan perspektif wacana Islam tentang ‘perhitungan’ (ḥisāb), sebuah idiom di mana umat Islam mengartikulasikan keadaan harapan mereka di akhirat melalui citra perhitungan ilahi dari perbuatan baik dan buruk (Birchok, 2022; Edi, 2015). Kualitas kebenaran dan nilai transenden yang muncul secara sosial dan teologis, menunjukkan kedekatan tersembunyi antara pendirian transenden dan bentuk kehidupan etis yang lebih imanen (Birchok, 2022).
Usaha formulasi kode etik akuntan perspektif Islam telah dirancang oleh para ahli profesional Muslim, hasilnya mungkin berbeda dari para ahli profesional non-Muslim (Sayyadi Tooranloo & Azizi, 2018). Hasil survei (Maryani & Ludigdo, 2001) mendeskripsikan secara parsial faktor-faktor eksternal yang mendominasi pengaruh sikap dan perilaku etis akuntan adalah keberagaman, pendidikan dan organisasional. Tampaknya menggunakan budaya Islam dan nada pragmatis oleh para profesional, cendekiawan dan badan legislatif diperlukan untuk menciptakan perubahan yang diperlukan dalam budaya bisnis saat ini dan sebagai hasilnya untuk menciptakan perubahan mendasar dalam perilaku profesional akuntan (Lannai & Prabowo, 2016; Prabowo, 2018, 2019b, 2022; Prabowo & Mulya, 2018; Sayyadi Tooranloo & Azizi, 2018).
Integrasi Aswaja dalam penguatan kode etik akuntan sangat penting dilakukan mengingat konstribusi Sumber Daya Manusia (SDM) oleh PT NU yang telah hadir disetiap wilayah Indonesia. Program studi akuntansi di bawah PT NU diharapkan mampu mencetak akuntan dengan kompetensi akuntansi yang bisa bersaing ditambah nilai-nilai etis yang bernafaskan Aswaja sebagai citra diri warga NU.
Usaha formulasi kode etik akuntan perspektif Islam telah dirancang oleh para ahli profesional Muslim, hasilnya mungkin berbeda dari para ahli profesional non-Muslim (Sayyadi Tooranloo & Azizi, 2018).
Secara garis besar Aswaja An Nahdliyah memiliki karakteristik khusus yang dirumuskan oleh (Amin, 2015) dalam khittah Islam Nusantara yaitu terdiri 3 pilar atau rukun penting di dalam Islam Nusantara. Pertama, landasan pemikiran (manhajul fikr); kedua, landasan gerakan (manhajul harakah); dan ketiga, tindakan nyata (paham keahamaan) (Amin, 2015). KH Said Aqil Siraj pada 1994 berpandangan bahwa pemahaman Aswaja tidak lagi hanya sebatas madzhab melainkan sebagai Manhaj al-Fikr (metode berfikir) (Nurul Salafiyah, 2019).
Sebagaimana juga dikatakan pula oleh KH Said Aqil Siraj dalam Pengantar Studi Aswaja Nahdliyah dalam Hamzah (2017) aswaja sebagai metode berfikir mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi.
Dalam konteks etika profesi antara paham keagaman, manhajul fikr dan manhajul harakah memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain (Budiman, 2018; Harkaneri, 2013; Kusumaningtyas, 2018; Prabowo, 2023). Ketiganya sama seperti sistem yang membentuk etika profesi Aswaja An Nahdliyah.
Paham keagamaan sama seperti ontologi yang bersifat metafisika dan memiliki kebenaran universal (Budiman, 2018; Triyuwono et al., 2016; Wibowo et al., 2018; Zaki, 2016). Paham keagamaan Aswaja An Nahdliyah yang terdiri dari bidang Aqidah, bidang fiqih dan bidang tasawuf sudah berterima umum di kalangan pemuka agama (Wibowo et al., 2018). Etika profesi dalam perspektif bidang Aqidah bahwa setiap perilaku dalam profesi harus disandarkan pada Al-Quran, Al-Hadits, Al-Ijma dan Qiyas (Budiman, 2018; Harkaneri, 2013; Triyuwono et al., 2016; Zaki, 2016) bedasarkan pandangan Imam Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi.
Dalam bidang fikih, etika profesi dijalankan bedasarkan tuntunan dari empat imam madzhab yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Artinya apa, bahwa jika menghadapi persoalan etika profesi yang tidak ditemukan pada bidang Aqidah maka merujuklah pada bidang fikih yang biasanya menjelaskan berdasarkan konteks persoalan (Budiman, 2018; Harkaneri, 2013; Zaki, 2016).
Sedangkan etika profesi dalam perspektif tasawuf adalah penyatuan perilaku antara manusia dan Allah SWT. Yaitu dengan senantiasa menyucikan hati mengerjakan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Perilaku etis senantiasa disandarkan atas bisikan yang bersumber dari qalbu sebagai representasi bisikan Allah SWT. Bisikan tersebut adalah manifestasi dari sikap Allah SWT yang tidak mungkin bertentangan dengan etika profesi.
Manusia dalam menjalankan profesinya mempunyai kemampuan dan keyakinan bahwa semua pekerjaannya dilihat oleh Allah SWT (Aziz & Ahmad, 2019; Triyuwono et al., 2016). Tuntunan etika profesi dalam tasawuf tentu harus sesuai dengan Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Junaid Al-Baghdadi.
Manhajul fikr atau epistemologi (Triyuwono et al., 2016) dalam menjalankan profesi harus senantisa berpegang teguh pada standar yang sudah diatur dalam profesi. Penerapan standar profesi harus bersikap toleran (tasamuh), moderat (tawasuth), proporsional (tawazun), tegak lurus (I’tidal) dan menganjurkan perilaku kebaikan dan mencegah perilaku buruk (amar ma’ruf nahi munkar).
Oprasionalisasi atau aksiologi (Triyuwono et al., 2016) etika profesi yaitu berpegang pada mabadi khoiru ummah yang terdiri dari sikap jujur (as-shidqu), Amanah dan menepati janji (al-amanah wal wafa bil’ahd), adil (al’adalah), gotong royong (at-ta’awun) dan konsisten dan berkesinambungan (istiqomah). Setiap manusia dalam menjalakan profesinya harus senapas dengan manhajul harakah untuk wujudkan profesi yang bermanfaat sebesar-besarnya untuk umat manusia dan organisasi.
Konstruksi kode etik akuntan Aswaja An Nahdliyah dibangun oleh peneliti melalui Aswaja An Nahdliyah (Amin, 2015; Hamzah et al., 2017; Kristeva, 2016) yang terdiri dari tiga pilar yaitu paham keagamaan, Manhajul fikr dan Manhajul harakah. Berdasarkan tiga pilar tersebut peneliti berhasil merekonstruksi kode etik Aswaja An Nahdliyah yaitu: as-shidqu, al-amanah wal wafa bil’ahd, al’adalah, at-ta’awun dan istiqomah.
Kode etik akuntan Aswaja An Nahdliyah memiliki karakteristik berbasis spiritualisme, nasionalisme dan kebudayaan. Mengapa demikian? Karena Aswaja An Nahdliyah yang digagas oleh NU adalah hasil formulasi Islam, ke-Indonesia-an dan kebudayaan nusantara. Implementasi kode etik akuntan Aswaja An Nahdliyah akan melahirkan akuntan-akuntan Aswaja. Akuntan Aswaja adalah akuntan yang menjalankan tanggung jawab profesionalnya pada nilai ke-Islam-an, ke-Indonesia-an, ke-budaya-an dan kode etik akuntan beserta aturan-aturan yang berlaku dalam profesi. Akuntan Aswaja yaitu akuntan yang memilki kepatuhan terhadap kode etik dalam bekerja.