Salah satu program unggulan dari pemerintahan Jiko Widodo yaitu, membangun Indonesia dari desa. Konsekuensinya harus menggelontorkan banyak dana untuk merealisasikan program tersebut. Hingga akhir kepemimpinannya, sudah ratusan trilliun anggaran yang dialokasikan ke desa diseluruh Indonesia, Bengkulutoday.com
“Ini angin segar untuk pembangan Desa, peruntukan dana desa untuk pembangunan sarana dan prasarana Desa untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Tujuannya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan” ungkap Muhammad Aras Prabowo Akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA).
Prosedur penggunaan dan Desa sudah diatur sedemikian rupa demi memastikan produktifitas anggaran tersebut serta akuntabilitas dan transparansinya.
Karena dana Desa, saat ini menjadi perhatian banyak orang, termasuk dalam kontekstasi politik. Perebutan jabatan Kepala Desa dan berbagai perangkat yang dimilikinya. Apalagi dengan UU Desa yang baru, jabatan Kepala Desa menjadi 8 Tahun satu periode, jelas Aras yang juga Direktur Lembaga Profesi Ekonomi dan Keuangan (LPEK) Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII).
Pasal 39 ayat 1 menjelaskan Kepala Desa memegang jabatan selama delapan tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kemudian Pasal 39 ayat 2 mengatur bahwa masing-masing kepala desa dapat menjabat maksimal dua kali masa jabatan secara berturut-turut maupun tidak secara berturut-turut.
UU Desa adalah kebijakan yang positif untuk Pembangunan Desa. Bukti keberpihakan Pemerintah tehadap Desa. Perpajangan masa jabatan misalnya, kita harapkan menjadi trigger dalam mendorong kemajuan pemberdayaan masyarakat Desa, sambungnya.
Tapi tentu tidak sesederhana itu, timpal Aras. Ada banyak tantangan untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki Desa. Khususnya dalam tatakelola manajemen dan keuangan Desa.
Karena kebijakan ini, banyak Desa yang mampu berakselerasi dan menjadi Desa maju, apresiasi Aras. Tapi ada banyak pula Kepala Desa dan Aparat Desa yang berurusan dengan hukum karena penyelewengan tatakelola manajemen dan keuangan Desa. Banyak yang menajadi korban atas kesilaun dana Desa yang berujung di balik jeruji besi, ungkapnya sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi penyelewengan tatakelola manajemen dan keuangan Desa.
“Korupsi dana Desa kian massif. Kepala Desa dan Aparat Desa menjadi elit, bahkan raja-raja kecil di daerahnya masing-masing. Rompi kuning kian sering terlihat di media-media yang dikenakan oleh Kepala Desa dan Aparat Desa. Itu karena kurangnya pemahaman yang memadai dalam tatakelola manajemen dan keuangan Desa. Ada juga yang korupsi, mulai dari penyalahgunaan wewenang hingga mengakibatkan kerugian keuangan negara, tegas intelektual muda Nahdatul Ulama (NU).
Fenomena tersebut mengindikasikan kurangnya pengawasan, pencegahan dan penegakan hukum pada tatakelola manajemen dan keuangan desa. Intelektual muda NU ini mencontohkan kasus yang sedang terjadi di Kabupaten Kediri. Yaitu dugaan ‘sakandal’ pengisian perangkat Desa. Menurut Kompak Indonesia, ada dugaan tindak pidana korupsi dalam pengisian, pencalonan dan pengangkatan jabatan perangkat desa di Kabupaten Kediri Tahun Anggaran 2023. Kabarnya ada jual beli jabatan untuk pengisian jabatan aparat Desa.
Polda Jatim saat sedang mengusut tindak pidana korupsi pengisian perangkat Desa Kabupaten Kediri.
“Ini patut kita apresiasi. Kita berharap bisa dituntaskan hingga ke akar-akarnya. Kenapa? Ini adalah pintu gerbang masuknya tindak pidana korupsi dalam tatakelola dana Desa. Ini adalah virus yang harus diamputasi bagi dana Desa”, tugas Aras.
Lanjutnya, Ini harus menjadi perhatian bagi masayarakat Desa untuk turut berpartisipasi dalam tatakelola manajemen dan keuangan Desa. Karena yang akan dirugikan adalah masyarakat Desa. “Perilaku koruptif di Desa harus diantisipasi”, jelasnya.
Perkembangan penanganan kasus di Kediri telah dirilis kabidhumas Polda Jatim Kombes Pol Dirmanto ke sejumlah media terkait pemanggilan saksi-saksi yang dikabarkan diperiksa secara marathon. Salah satu sumber kuat di Polda Jatim terdapat fakta yang cukup mengejutkan bahwa sekitar 500 an saksi telah diperiksa.
Kasus yang terjadi di Kediri adalah virus. Bukan hanya di Kediri, tapi daerah dan desa-desa seluruh Indonesia memiliki potensi yang sama. Sekali lagi ini adalah virus korupsi yang menggorogoti dana Desa. Perlu langka kongkrit dari Presiden dan stakeholder yang terkait. Khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam pengawasan, penceagahan dan penindakan kasus korupsi di Desa.
“KPK dan BPK harus turun hingga ketingkat Desa untuk melakukan monitoring dan evaluasi dalam tatakelola manajemen dan keuangan Desa. Bagi yang terbukti, harus ditindak tegas sebelum menjadi kanker bagi dana Desa”, terang Aras.
Harus ada perpanjangan tangan BPK hingga ketingkat Desa untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi tatakelola manajemen dan keuangan Desa.
Berdasarkan Permendagri No.113 Tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan desa Pasal 40 ayat 1 ada 2 bahwa (1) Laporan realisasi dan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan 38 diinformasikan kepada masyarakat secara tertulis dan dengan media informasi yang mudah diakses oleh masyarakat. (2) Media informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain papan pengumuman, radio komunitas, dan media informasi lainnya.
Dua dasar di atas merupakan dasar dalam mewujudkan pencegahan korupsi partisipatif dalam masyarakat untuk dana desa. Yaitu ikut melaksanakan program dana Desa kemudian melakukan fungsi pengawasan antara rencana dan realisasi anggaran.
“Jika ada ketidaksesuaian dan ketidakwajaran maka patut diduga ada penyelewengan dalam pengelolaan dana desa”, tandas Aras.
Selanjutnya melakukan fungsi pelaporan atas dugaan penyelewengan dana Desa kepada pihak berwajib atau kontak-kontak yang telah disediakan oleh lembaga Negara yang berwenang seperti KPK dan BPK sebagai bentuk pengawasan partisipatif masyarakat terhadap tatakelola manajemen dan keuangan Desa, tutup Aktivis PMII asal Makassar.