Oleh: Fatrica Syafri dan Jeni Melisa (Pengurus PW Fatayat NU Bengkulu)
Dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2012 tentang pemilu ada amanat yang harus dijalankan yaitu keterlibatan perempuan minimal 30% dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, hal ini juga mengatur bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu harus memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
Menariknya, pada prakteknya bahwa amanat undang-undang ini masih sering kali terabaikan dan terkesan tidak dipedulikan, kerap kali hanya memenuhi syarat seolah keterwakilan perempuan hanya sebagai “simbol” bahwa perempuan sudah terwakilkan. Sebagai legalitas dan formalitas semata.
Padahal, jika kita telaah lebih dalam, UU ini mengamanatkan minimal 30% keterwakilan perempuan, artinya akan lebih baik jika lebih dari 30% karena itu angka minimal yang diharapkan.
Melihat peluang dan tantangan keterwakilan perempuan dalam politik, khususnya penyelenggara, ada catatan penting dari kami Fatayat NU Bengkulu bagi kaum perempuan. Dari pengumuman hasil anggota Bawaslu periode 2022-2027 menunjukkan bahwa undang-undang tentang keterwakilan perempuan tidak lagi menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan. Hal ini jelas menunjukkan jika perempuan-perempuan yang muncul (baca: lolos) dalam keanggotaan bawaslu yang baru hanya sebagai “simbol” pemenuhan kuota 30%. Sungguh menyedihkan.
Dalam hal ini tentu para perempuan harus berfikir keras serta senantiasa terus belajar mengoptimalkan potensi diri agar dapat memiliki daya juang yang tinggi, Selain itu membangunkan kesadaran pengambil kebijakan tentang asas kesalingan antara laki-laki dan perempuan dalam posisi pengambilan kebijakan. Pentingnya peran perempuan untuk memperjuangkan hak sesama perempuan harus lebih luas disadari oleh seluruh rakyat Indonesia.
Karena Setidaknya ada tiga dasar keterwakilan perempuan 30% di KPU dan Bawaslu dari tingkat pusat hingga daerah harus diwujudkan. Pertama, ada aturan hukum di level internasional dan di dalam negeri yaitu undang-undang pemilu yang mengharuskan minimum 30% perempuan anggota KPU dan Bawaslu di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Kedua, menjadi akses bagi perempuan untuk masuk di dalam isntitusi politik dan muaranya adalah mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Ketiga, memastikan struktur penyelenggara dan pelaksanaan pemilu yang berkeadilan gender.
Selanjutnya, pada tahap seleksi penyelenggara pemilu, baik BAWASLU maupun KPU yang sampai hari ini sepertinya hanya berpatokan pada angka minimal dan ini juga belum terpenuhi, tanpa mempertimbangkan bahwa sebenarnya bisa menuju angka maksimal. Hal ini didasari pada hasil akhir tahap seleksi yang hanya menyisahkan satu kursi kepada perempuan untuk ada di jajaran pimpinan BAWASLU maupun KPU.
Dan hari ini menjadi 0 untuk di jajaran BAWASLU Provinsi Bengkulu