Jakarta – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi mencurigakan di rekening bendahara-bendahara partai politik yang mencapai lebih dari setengah triliun rupiah. Terkait dengan hal ini, ada indikasi transaksi mencurigakan muncul dari kejanggalan aktivitas rekening khusus dana kampanye (RKDK). Arus transaksi di RKDK semestinya meningkat seiring masa kampanye, tetapi kenyataannya sebaliknya. Justru pergerakan uang datang dari rekening-rekening lain.
“Kita melihat memang transaksi terkait dengan pemilu ini masif sekali laporannya kepada PPATK. Kenaikan lebih dari 100 persen di transaksi keuangan tunai, di transaksi keuangan mencurigakan,” ujar Ivan, seperti dikutip Detikcom.
Ivan kemudian membeberkan bahwa berdasarkan pengalaman selama ini, PPATK kerap kali mendapati rekening khusus dana kampanye (RKDK) cenderung tak bergerak.
PPATK pun mencurigai dana para pihak yang berkontestasi pada pemilu berasal dari hasil tindak pidana, seperti tambang ilegal.
Laporan PPATK atas aliran dana yang tidak wajar meresahkan masyarakat Indonesia. Apalagi ada indikasi, dana tersebut untuk pemenang calon tertentu. Jika benar, tentu hal ini bisa menciderai demokrasi. Bertentangan dengan aturan demokrasi.
“Jika dikaji, regulasi KPU soal Pemilu belum komprehensif. Khususnya, soal dana kampanye. Pelaporan dana kampanye masih sebatas pengguguran kewajiban,” ungkap Akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), (25/12/23).
Aturan dana kampanye belum bisa berperan signifikan dalam mewujudkan keadilan demokrasi. Kekosongan aturan dalam dana kampanye masih menjadi faktor terjadinya money politik. Hal ini pulalah yang mencemari demokrasi Pemilu.
“Padahal regulasi dana kampanye adalah starting points penyelenggara Pemilu yang berkualitas. Lebih jauh, sebagai titik hulu dalam pencegahan korupsi di Indonesia,” tegas Direktur Lembaga Profesi Ekonomi dan Keuangan (LPEK) PB PMII.
Lebih jauh, “aktor non negara masuk dan mengintervensi Negara (APBN) lewat dana kampanye” beber Aras.
Terbukti, sejumlah tindak pidana korupsi terjadi akibat kontribusi aktor non negara ini terhadap Pasangan Calon (Paslon) tertentu saat berkontestasi. Terjadi komitmen korporasi melalui APBN jika menduduki pemerintahan.
Hubungan antar politik dan korporasi (aktor non negara) dibahas dalam ekonomi politik. “Korporasi dalam menjaga keberlanjutannya perlu terkoneksi dengan negara (baik level pusat hingga daerah). Meskipun tidak dibahas secara detail dalam teori-teori korporasi, namun faktanya demikian” terang Ekonom Muda Nahdlatul Ulama.
Hubungan tersebut diikat melalui biaya transaksi politik. Dana kampanye yang memberikan ruang transaksi tersebut. Konsikuensinya, dana tersebut harus dibayar oleh Paslon tertentu dalam bentuk berbeda. Di sinilah APBN dibagi-bagi ke aktor non negara.
“Praktek inilah yang kemudian menimbulkan tindak pidana korupsi. APBN dibagi-bagi secara brutal tanpa memikirkan out put dan out comenya. Yang dipikirkan, bagaimana mendapatkan laba sebesar-besarnya. Seperti itu logika korporasi” tegas Aras.
Sebaliknya, jika Paslon aktor non negara kalah dalam Pemilu juga akan mendapatkan konsikuensi. Korporasinya tidak akan mendapatkan kucuran APBN, bahkan akan mengalami kesulitan dalam keuangan. Fenomena ini, banyak kita dengarkan dari berbagai ungkapan pengusaha (aktor non negara).
Oleh karena itu, regulasi dana kampanye harus diperkuat. Audit dana kampanye harus mampu mengungkap data setiap donatur kampanye. Tidak diperkenankan memakai samaran. Sebab data ini akan menjadi data base pengawasan dan benang merah hubungan istimewa antara Paslon terpilih dan aktor non negara.
“Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) harus terlibat dalam pelaporan dan audit dana kampanye. Sehingga terjadi pencegahan korupsi dari hulu ke hilir” tegas Aras.
Tidak terjadi lagi bagi-bagi proyek negara. Persaingan usaha akan lebih kondusif. Semua proyek negara dikerjakan oleh mitra yang memiliki kapasitas dan kompetensi dibidangnya. “Out put dan out comenya sesuai yang diharapkan” pangkasnya.